Di balik langit yang tampak hening, di balik cakrawala yang kita sangka kosong. Ada rahasia besar yang tersembunyi, sebuah sistem dimensi. Yang tak bisa dilihat oleh mata, tapi nyata bagi mereka yang memahami petunjuk Al-Qur'an.
Dan mulai sekarang, kita akan membuka satu per satu pintu-pintu rahasia, Perjalanan antar dimensi, antar bintang. Dalam terang wahyu, bukan imajinasi fiksi. Dalam Surah Al-A’raf ayat 27, Allah mengungkapkan bahwa Setan dan kaumnya dapat melihat kita dari tempat yang tak bisa kita lihat. Tapi apa maksud dari semua ini? Apakah ada lapisan realitas lain yang sedang berlangsung di sekitar kita?
Apakah jin, Setan, dan bahkan para malaikat beroperasi di dimensi yang berbeda, dan mungkinkah ada manusia yang pernah melintasinya?
Dalam tulisan menakjubkan ini, kita akan menyelami perjalanan paling misterius dalam sejarah kenabian dengan analogi sederhana berdasarkan sains. Kisah Nabi Musa dan Khidir dengan pendekatan sains.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Pernahkah kita bertanya, Mengapa kita tidak bisa melihat jin?
Mengapa Setan bisa mengamati kita, tapi kita tidak bisa mengamati
mereka? Allah telah menjawabnya dalam Al-Qur’an.
"Sesungguhnya dia dan kaumnya melihat kalian dari arah yang tidak bisa kalian lihat..."* [Surah Al-A’raf: 27]
Di balik dunia fisik yang kita lihat — ada dunia lain, tersusun
dari "lapisan-lapisan dimensi",
Tak terjamah oleh mata, namun nyata dalam sains dan dalam wahyu. Di dunia yang tampak ini. Kita hidup dalam panjang, lebar, dan tinggi. Kita berjalan, duduk, mendaki tangga. Semua itu adalah interaksi kita dengan tiga dimensi ruang.
Namun, realitas tidak sesederhana itu.
Dalam dunia fisika modern, khususnya teori yang disebut M-theory. Para ilmuwan meyakini bahwa alam semesta ini tersusun dari 11 dimensi. Sumber teori ini berasal dari perkembangan superstring theory, sebuah kerangka fisika teoritis yang berupaya menyatukan semua gaya fundamental alam. (Referensi: M-theory, dikembangkan oleh Edward Witten dan lainnya sejak 1995, dalam konteks superstring theory.)
NOL DIMENSI
Tapi, bagaimana cara memahaminya? Bayangkan... satu titik. Ia tidak punya panjang, lebar, atau tinggi. Hanya keberadaan — tanpa arah. Ini adalah nol dimensi.
SATU DIMENSI
Saat titik itu bergerak — terbentuklah sebuah garis. Kini kita punya satu dimensi, yaitu panjang. Dalam dunia satu dimensi, makhluk hanya bisa bergerak maju atau mundur. Misalnya: Bayangkan seekor cacing kecil hidup dalam sebuah sedotan. Ia hanya bisa bergerak ke depan atau ke belakang. Ia tidak tahu bahwa ada ruang di luar sedotan itu.
TIGA DIMENSI
Sekarang, garis itu kita geser ke samping. Kita masuk ke dua dimensi — panjang dan lebar. Contoh sederhana: Bayangkan selembar kertas. Atau layar ponsel kita. Segala hal di dalamnya hanya bisa bergerak ke kiri, kanan, atas, dan bawah. Tapi tidak bisa “keluar” dari layar. Makhluk dua dimensi tidak akan pernah tahu seperti apa "kedalaman".
EMPAT DIMENSI
Lalu datanglah dimensi ketiga — yang kita tinggali. Panjang, lebar, dan tinggi. Kita bisa naik turun tangga, membuka pintu, atau melempar benda ke udara. Semua itu adalah gerakan di ruang tiga dimensi.
Tapi... ada satu hal menarik. Kita, makhluk tiga dimensi, bisa melihat dan mengamati dunia dua dimensi dari luar. Kita bisa menyentuh, mengubah, atau bahkan menembus dunia dua dimensi — Tanpa bisa mereka pahami.
Maka, para ilmuwan berteori, Makhluk dari dimensi lebih tinggi
juga bisa melihat dan berinteraksi dengan kita, Dari sudut yang tak bisa kita
rasakan. Dan inilah yang ditegaskan oleh Al-Qur’an:
"Sesungguhnya dia (Setan) dan kaumnya
melihat kamu dari tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”
(Surah Al-A'raf: 27)
Tapi mengapa kita tidak bisa merasakan dimensi keempat, kelima, dan seterusnya?
Menurut fisika relativitas khusus Einstein, dimensi keempat adalah waktu. Kita hidup di dalamnya, tapi tidak bisa memanipulasinya. Kita hanya bergerak maju dalam waktu —Tanpa bisa kembali ke masa lalu atau melompat ke masa depan.
Dimensi kelima, keenam, hingga kesebelas adalah ruang-ruang kemungkinan, di mana semua versi realitas yang mungkin bisa eksis bersamaan. Namun, semua ini hanya bisa dibayangkan secara matematis. Otak manusia hanya bisa memproses tiga dimensi secara penuh. Kita terbatas. Namun seperti halnya makhluk dua dimensi yang tidak bisa memahami kita. Kita pun tidak bisa memahami mereka yang hidup di dimensi lebih tinggi.
📖 Al-Qur’an memberi petunjuk itu.
Setan dan jin, malaikat dan ruh, bahkan Khidir — seorang hamba Allah yang unik — Mungkin hidup atau beroperasi dalam dimensi yang lebih tinggi yang hanya bisa kita bayangkan namun tidak bisa kita jangkau.
Maka ketika Nabi Musa bertemu Khidir, pertemuan itu bukan sekadar
spiritual. Tapi juga interdimensional. Dalam segmen berikutnya, Kita akan
menyelami kembali ke masa lalu.
Di saat Musa ‘alaihis salam baru saja membawa Bani Israil keluar
dari Mesir. Laut telah terbelah, Fir’aun dan bala tentaranya telah binasa. Dan
di sinilah perjalanan yang lebih dalam dimulai.
Dari Ubay bin Ka’b, Rasulullah ﷺ bersabda: “Musa pernah berdiri dan berkhutbah kepada Bani Israil, lalu ada yang bertanya, ‘Siapa orang yang paling berilmu?’ Musa menjawab, ‘Saya.’ Maka Allah menegurnya karena dia tidak mengembalikan (jawaban itu) kepada Allah. Lalu Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba di pertemuan dua lautan, yang lebih berilmu darimu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun di sinilah letak ujian Musa.
Ia lupa menyandarkan ilmu kepada Zat Yang Maha Mengetahui, Maka
Allah menegurnya.
Bukan dengan murka, Tapi dengan mengabarkan bahwa ada seorang hamba yang lebih berilmu darinya, Yang kini berada di tempat pertemuan dua lautan.
Sebuah titik di bumi — yang misterinya belum terpecahkan hingga
hari ini.
Sebagian ulama menyebutkan itu adalah wilayah antara Laut Tengah
Timur dan Teluk Persia.
Namun ada pula pendapat bahwa pertemuan dua lautan itu bukan sekadar geografis... melainkan juga metafisik. Tempat di mana dua dunia bersinggungan…
Musa tidak bertanya siapa dia, Melainkan “Bagaimana aku bisa menemuinya?” Maka, dimulailah perjalanan menuju dimensi keilmuan yang lebih tinggi. Sebuah ekspedisi lintas ruang, waktu bahkan kemungkinan lintas realitas.
Dalam Surah Al-Kahfi ayat ke 60, Allah menyebut kata "fata", Banyak ulama menyepakati, ia adalah Yusya' bin Nun, murid muda Nabi Musa. Namun kata ini juga berarti pemuda, pelayan, murid spiritual. Para sejarawan mendokumentasikan bahwa Khidir disebut hidup saat Dzulqarnain masih berkuasa. Beberapa bahkan menyebutkan Dzulqarnain adalah sepupu Khidir. Mereka sezaman dengan Nabi Ibrahim, artinya ketika Musa bertemu Khidir, Khidir telah hidup ratusan tahun sebelumnya.
Apakah ini berarti Khidir berada dalam dimensi waktu yang berbeda?
📖 Dalam Surah Al-Kahfi ayat 61, Allah berfirman:
"Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut, mereka lupa ikan mereka, lalu ikan itu mengambil jalannya ke laut itu dengan cara yang ajaib." (QS. Al-Kahfi: 61)
Inilah awal dari peristiwa luar biasa, Ketika Nabi Musa ‘alaihis salam, bersama muridnya — Yusha’ bin Nun — melakukan perjalanan spiritual dan fisikal, menuju sebuah pertemuan antara dua alam.
TANDA PERTEMUAN DIMENSI
Di tengah perjalanan itu, mereka membawa bekal sederhana, roti dan seekor ikan yang telah dipanggang. Namun sesuatu yang melampaui hukum alam terjadi. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir al-Bahr al-Madid, dijelaskan bahwa di tempat mereka beristirahat, sebuah batu dekat mata air yang disebut “Ainul Hayah” atau mata air kehidupan, terjadi peristiwa luar biasa.
Malam itu, kabut sejuk dari mata air tersebut menyentuh keranjang yang berisi ikan. Dan dengan izin Allah, ikan itu hidup kembali, meloncat ke laut dan berenang, meninggalkan jalur seperti dimensi terowongan di dalam air.
Pertanyaan ilmiahnya Bagaimana mungkin ikan yang telah dimasak bisa hidup kembali?
Dari segi ilmu pengetahuan modern, tidak ada skenario biologis di
mana jaringan mati dan termasak dapat hidup kembali. Namun, jika merujuk pada
tafsir sebelumnya yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah ainul Hayat. Maka
peristiwa ini masuk dalam kategori mukjizat, atau campur tangan langsung dari
Allah, sebagaimana yang telah terjadi dalam kisah Ashabul Kahfi, burung yang
dihidupkan oleh Nabi Isa atas izin Allah (QS. Al-Baqarah: 260), Nabi Hazqiel
yang menghidupkan ribuan tulang belulang manusia seperti yang telah kita bahas
pada video sebelumnya atau kelahiran Nabi Isa dari Maryam tanpa ayah.
📚 (Tafsir al-Qurtubi, Tafsir al-Baghawi, dan hadits Shahih riwayat Bukhari dan Muslim mendukung kategori kejadian luar biasa ini.
Kebangkitan makhluk mati bukanlah mitos, tapi realitas dalam sistem dimensi yang dikuasai oleh Sang Maha Pencipta.
Pertanyaan kedua, bagaimana ikan bisa menciptakan jalur terowongan dalam air dan tetap terbuka?
Secara ilmiah, air bersifat cair dan tidak bisa membentuk lorong permanen. Laut, secara hukum fisika, akan langsung menutup kembali jika ada sesuatu masuk ke dalamnya. Namun Allah menjelaskan bahwa air tersebut “menjadi seperti terowongan.” Peristiwa ini mirip dengan kisah pembelahan laut oleh Nabi Musa saat melintasi Laut Merah bersama Bani Israil (QS. Asy-Syu’ara: 63). Air terbelah, membentuk jalan, Bukan hanya fenomena alam, tapi perwujudan dimensi yang berbeda, di mana hukum alam digantikan oleh hukum ketetapan Ilahi.
Inilah momen kunci. Di sinilah logika dimensi mulai berperan.
Jalur yang tercipta oleh ikan bukan hanya arah fisik, melainkan
juga sebuah penanda interdimensional. Dalam dunia fisika teoretis, khususnya
teori String Theory dan M-theory, ada spekulasi tentang dimensi keempat spasial
dan kelima sebagai jalur-jalur energi atau portal yang menghubungkan dua titik
berbeda dalam ruang dan waktu.
🔬 (Referensi: Brian Greene, “The Fabric of the Cosmos”, serta paper dari Edward Witten, 1995, Institute for Advanced Study.)
Maka, ketika ikan membelah air dan menciptakan terowongan, itu mungkin bukan sekadar jalur dalam air melainkan portal menuju dimensi lain.
Musa lalu berkata kepada Yusha’: “Bawakan makanan kita, sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan ini.” (📘 QS. Al-Kahfi: 62)
Tapi anehnya, kelelahan Musa justru terjadi setelah mereka melewati tempat Khidir, bukan sebelumnya. Kenapa? Karena ketika seseorang bergeser dari satu dimensi ke dimensi lain, ada perubahan energi, waktu, bahkan gravitasi. Kelelahan yang tak biasa bisa jadi pertanda bahwa mereka telah menembus ambang realitas. Dalam catatan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad ﷺ menceritakan bahwa jejak ikan itu tetap terlihat jelas hingga Musa kembali. Artinya, dimensi itu tidak tertutup kembali secara langsung. Maka Musa berkata: “Inilah tempat yang kita cari.” Lalu mereka menelusuri kembali jejak langkah mereka.
Dan di situlah mereka bertemu dengan seorang hamba Allah, yang telah dianugerahi rahmat dan ilmu langsung dari sisi-Nya. (QS. Al-Kahfi: 65)
Dia adalah Khidir. Sosok misterius yang namanya berasal dari akar kata “kha-dho-ro”, artinya hijau. Menurut hadis dari Abu Hurairah (HR. Bukhari no. 3401), ia disebut “Khidir” karena tanah yang kering menjadi hijau di bawah tempat duduknya.
Para akademisi sains teoretis dan penulis populer di dunia Barat (seperti Brian Greene, Edward Witten) memperkenalkan konsep “dimensi ke-6” dan "wormhole" sebagai jalur antar realitas alternatif dalam M-theory dan String Theory. Beberapa mengaitkan cerita Khidr dengan ide tersebut, Teori pertama: Nabi Musa dan Yusha melewati portal ikan menuju alam Khidr. Teori kedua: Khidr melintas ke alam manusia. Namun ini tetap dalam wilayah ghaib. Hakikatnya, hanya Allah yang tahu. Yang pasti: terjadi perjalanan lintas dimensi.
Dalam pandangan fisika teoretis, makhluk berdimensi ke-6 dikatakan bisa “melihat masa depan” dunia tiga dimensi. Kita tahu bahwa Khidir, dengan izin Allah, memang mengetahui hal-hal yang akan terjadi — ini ditunjukkan nanti dalam tiga peristiwa bersama Musa. Tetapi, teori ini hanya analogi sebagai pendekatan akal. Bukan klaim akidah atau tafsir literal dan ilmu Allah jauh melampaui semua dimensi.
Ketika bertemu, Nabi Musa, meski seorang rasul, meminta izin untuk belajar dari Khidir.
“Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau
mengajarkan kepadaku sebagian petunjuk yang telah diajarkan kepadamu?”
— QS. Al-Kahfi: 66
Inilah adab seorang ulul azmi, tidak malu belajar dari yang diberi
ilmu khusus, meski ia bukan nabi. Dalam sebuah riwayat shahih (HR. Bukhari no.
122), Khidir mengambil perumpamaan:
Seekor burung meminum setetes air dari laut, lalu berkata:
“Ilmuku dan ilmumu, dibanding ilmu Allah,
tidak lebih dari air di paruh burung itu dibanding lautan.”
Namun, Khidir memberi syarat:
“Engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku. Jangan bertanya sampai aku sendiri yang menjelaskan.” (QS. Al-Kahfi: 70)
Karena ilmu Khidir berasal dari “rahmat dan ilmu khusus (ilmu ladunni)”, bukan dari wahyu syariat biasa. Setelah syarat ditetapkan oleh Khidir bahwa Musa tidak boleh bertanya sampai dijelaskan, dimulailah perjalanan luar biasa antara dua insan pilihan Allah.
Keduanya berangkat menuju tiga peristiwa yang akan menguji kesabaran, adab, dan hikmah yang melampaui logika.
Peristiwa
Pertama adalah Perahu yang Dirusak
Mereka tiba di tepi sungai dan menaiki sebuah perahu. Para pemilik kapal yang mengenali Khidir membiarkan mereka naik tanpa bayaran. Namun di tengah pelayaran, Musa melihat Khidir mengambil kapak dan melubangi papan kapal. Dengan terkejut, Musa berkata:
"Apakah engkau melubangi perahu ini agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang berat!" (QS. Al-Kahfi: 71)
Khidir menjawab: "Bukankah aku telah katakan kepadamu bahwa engkau tidak akan sanggup bersabar bersamaku?" Musa menjawab penuh penyesalan: "Jangan hukum aku karena kelupaanku, dan jangan beratkan aku dalam urusan ini." Rasulullah ﷺ bersabda bahwa kelupaan Musa saat itu adalah benar-benar tanpa sengaja, sebagaimana disebutkan dalam Sahih Bukhari.
Peristiwa
Kedua adalah Anak yang Dibunuh
Setelah turun dari kapal, mereka berjalan dan melihat anak-anak sedang bermain. Khidir mendekati salah satu dari mereka… dan membunuhnya. Musa pun berkata:
"Apakah engkau membunuh jiwa yang suci, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, ini adalah perbuatan yang mungkar!" (QS. Al-Kahfi: 74)
Khidir kembali mengingatkan, "Bukankah sudah kukatakan, engkau tidak akan sanggup bersabar denganku?" Musa menjawab: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka jangan ijinkan aku menyertaimu. Sungguh, aku telah cukup diberi maaf olehmu."
Peristiwa Ketiga: Dinding Kota yang Ditegakkan
Mereka tiba di sebuah kota. Penduduknya pelit. Mereka menolak menjamu dua musafir ini meskipun diminta. Namun Khidir melihat sebuah dinding yang hampir roboh. Ia langsung memperbaikinya hingga tegak kembali tanpa meminta bayaran. Musa heran:
"Jika engkau mau, engkau bisa saja meminta upah atas pekerjaan itu!"— QS. Al-Kahfi: 77
Saat itulah Khidir berkata: "Inilah saat perpisahan antara aku dan engkau. Akan aku jelaskan kepadamu makna tindakan-tindakan yang membuatmu tidak sabar."
Peristiwa
Kedua adalah Anak yang Dibunuh
1️⃣ Perahu Dirusak — untuk Menyelamatkan
"Perahu itu milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Aku hendak merusaknya karena di depan sana ada raja zalim yang akan merampas setiap perahu yang utuh." (QS. Al-Kahfi: 79)
Dalam Sahih Bukhari, Ibnu Juraij menyebut nama raja itu: Hado bin Bado. Disebutkan dalam Taurat, ia adalah keturunan Isya (Esau), anak Nabi Ishaq — namun Allah lebih mengetahui kebenarannya. Khidir merusaknya dengan maksud menyelamatkan hak milik kaum miskin.
2️⃣ Anak Dibunuh — agar Orangtuanya Diselamatkan dari Kekufuran
"Anak itu memiliki kecenderungan menuju kekufuran. Aku khawatir orangtuanya yang beriman akan ikut tergelincir karena cinta kepada anak itu." (QS. Al-Kahfi: 80-81)
Menurut Qatadah RA, orangtuanya adalah pasangan yang sangat mencintai anak ini. Namun justru kecintaan itu berpotensi menjauhkan mereka dari iman. Disebutkan oleh beberapa riwayat bahwa anak itu bernama Jaisur, dan kemudian Allah menggantinya dengan seorang anak yang saleh.
3️⃣ Dinding Ditegakkan — demi Menjaga Harta Anak Yatim
"Adapun dinding itu milik dua anak yatim di kota tersebut. Di bawahnya terdapat harta karun milik mereka. Ayah mereka dahulu adalah orang saleh…" (QS. Al-Kahfi: 82)
Nama kedua anak itu disebut dalam riwayat sebagai Ashram dan Saram. Harta itu adalah warisan dari sang ayah.
Berdasarkan kisah dalam Surah Al-Kahfi ayat 60–82, para ulama
menjelaskan bahwa ini adalah kisah dua insan mulia — Musa dan Khidir
‘alaihimassalam — yang mewakili dua jalan ilmu dan dua lapisan realitas. Di
balik kisah ini, terungkap tabir alam yang tak terlihat…
Dimensi yang mungkin belum bisa dijangkau oleh akal dan sains hari ini.
Para ahli fisika teoretis seperti Brian Greene dan Edward Witten, melalui teori String dan M-Theory, berbicara tentang dimensi keenam dan jalur-jalur antar realitas, konsep yang seakan bersinggungan dengan “sababan” yang disebut Allah dalam QS. Al-Kahfi: 84. Sababan bukan sekadar jalan, ia adalah jalur ilahi, ruang rahasia menuju rahasia-Nya. Jika Dzulqarnain bisa menembus batas-batas bumi dan langit, dan jika Khidir tahu apa yang belum terjadi, maka semua itu bukanlah keajaiban dari makhluk, tapi rahmat dan ilmu langsung dari sisi Allah.
Di sinilah letak pelajaran terbesarnya:
Bahwa ilmu Allah melampaui segala batas logika, dimensi, bahkan waktu. Khidir tidak bertindak semaunya, Ia bertindak karena diperintah oleh Zat yang tahu masa depan. Dan Musa, sang Nabi Ulul Azmi, dengan segala ilmunya, masih dituntun untuk bersabar karena ada hikmah yang belum disingkapkan. Pernahkah sebuah kejadian buruk justru membuka jalan menuju sesuatu yang baik—tapi baru disadari bertahun-tahun kemudian oleh kita? Coba ceritakan di kolom komentar.
Untuk kisah yang mengguncang kesadaran dan menantang logika zaman, boleh terus pantau kami dan sebarkan pada mereka yang tak puas dengan jawaban biasa.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Posting Komentar